Jumat, 03 April 2009

Brosur KPK



Buat semua teman-teman yang mau melakukan pengaduan terkait tidak pidana korupsi di Sekolah silakan melihat brosur ini terlubih dahulu.

Sabtu, 06 September 2008

Mengatasi Korupsi di Sekolah

Mengatasi Korupsi di Sekolah

ASRO,S.Pd

DISKURSUS korupsi di sekolah, yang dimuat Kompas beberapa waktu lalu, sangat menarik untuk direspons masyarakat agar korupsi sebagai salah satu jenis "penyakit mematikan" itu tidak berkembang biak di sekolah. Kalau Budiyana di harian ini (Kompas, 12 Januari 2004) setengah "menyangkal" atas "gugatan" Syukur Budiardjo, yang mensinyalir guru sebagai pelaku korupsi di sekolah yang dimuat sebelumnya (Kompas, 15 Desember 2003), boleh jadi itu hanya semata perbedaan persepsi dan cara pandang.

Sebagaimana kita sadari, korupsi di sekolah dilakukan dengan jalan memanipulasi perbelanjaan sekolah yang dibebankan kepada orangtua murid, manipulasi dana PMR, penulisan ijazah, rapat guru, dan lain-lain sebagaimana juga disinyalir ICW. Diakui atau tidak, guru dan kepala sekolah sebagai pelaku korupsi di sekolah menarik untuk didiskusikan bagaimana untuk mengatasi korupsi itu di lingkungan sekolah. Hal ini mengingat sekolah merupakan benteng terakhir pembentukan mental siswa didik untuk tidak bersikap koruptif. Untuk inilah maka tulisan ini menawarkan semacam solusi antisipatif (kuratif) atas terjadi korupsi di sekolah.

PERTAMA, sekolah harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Pemikiran ini menyaran pada bagaimana semua program sekolah dan pendanaan (sumber, distribusi, dan pertanggungjawaban) dilakukan secara terbuka. Artinya, program-program yang dimunculkan di sekolah diawali dengan analisis kebutuhan masyarakat, dirancang menjadi program, diajukan ke komite sekolah, baru diputuskan menjadi program sekolah.

Salah satu kelemahan yang terjadi selama ini, kecenderungan kepala sekolah masih berpola "kekuasaan", bukan play maker yang demokratis. Maka, tidak jarang ia dilingkari oleh orang-orang yang ABS, brutus, dan ingin memanfaatkan demi kepentingannya. Tidak heran jika sekolah demikian rawan konflik dan iklim komunikasi warga sekolah terhambat. Program sekolah tidak dikawal bersama, sebaliknya, saling "menjegal" dan sinis terhadap kreasi dan kebijakan sekolah.

Dalam konteks ini maka sebaiknya sekolah memiliki sistem komunikasi dengan orangtua, masyarakat, dan komite sekolah dalam hal program dan pertanggungjawaban keuangan. Jika dimungkinkan, sekolah dapat membuka website khusus untuk komunikasi dengan stakeholder-nya. Seorang calon kepala sekolah di Ponorogo sebelum memimpin salah satu sekolah negeri favorit, pernah merencanakan ini, tetapi setelah setahun berjalan hanyalah isapan jempol. Padahal, dana yang dikelola dari masyarakat tidak dapat dikatakan sedikit.

Terkait dengan bentuk korupsi guru yang disinggung Syukur Budiardjo, di mana korupsi guru yang mencakup korupsi waktu, korupsi (manipulator) nilai, pedagang dan calo barang jasa, pembeli jabatan, dan koruptor dana, maka, kedua, dibutuhkanlah reformasi dan revitalisasi mental guru dan insan sekolah lain. Artinya, jika guru terpaksa harus menjual buku kepada siswa, jangan dijadikan "obyek sampingan" yang justru mengesampingkan kualitas di satu sisi, dan jangan mengorbankan idealisme di sisi yang lain. Hanya hati nuranilah tampaknya yang dapat berperan awal dalam mengatasi kecenderungan korupsi jenis ini.

Ketiga, perlu adanya pertanggungjawaban balik sekolah kepada masyarakat (akuntabilitas). Jika ini dilakukan, maka kemungkinan permainan uang (korupsi) di sekolah dapat ditekan. Minimal, mereka berhitung atas apa yang dilakukan atas keuangan sekolah. Akuntabilitas, sebagai poin pertama, harus difasilitasi oleh sistem komunikasi dan kran keterbukaan yang baik. Masyarakat dalam konteks ini dapat mempertanyakan bagaimana uang yang disumbangkan kepada sekolah tertentu, dipergunakan untuk apa, dengan cara-cara bagaimana, dan sejauh mana hasilnya atas finansial yang telah dikeluarkan.

Keempat, perlunya revitalisasi komite sekolah. Sebagaimana diusulkan Budiyana, komite sekolah memang dapat dioptimalkan sebagai pengontrol sekolah. Sebab, hakikatnya komite sekolah merupakan organisasi pendamping dalam mendorong peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Di sinilah pentingnya memberdayakan peran dan fungsi komite sekolah sebagaimana disosialisasikan Mendiknas melalui lampiran keputusan Mendiknas Nomor 004/U/2002 Tanggal 2 April 2002. Maka, peran komite sekolah harus mencakup: (a) sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (b) sebagai pemberi pertimbangan (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (c) sebagai pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitasi penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan (d) sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Fungsi komite sekolah sebagai pengontrol (controlling agency) itulah yang akan mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Komite sekolah, karena itu, bukan lagi sebagai stempel (legalisasi) di tubuh sekolah. Ia memiliki hak penting untuk terlaksananya pendidikan di institusi sekolah secara bersih dan bebas korupsi.

Jika idealisme kontrol komite sekolah ini diterapkan, secara teoritik sangat bagus. Namun, dalam praktiknya sekarang ini mereka tidak jauh berbeda dari BP3 yang sebelumnya ada. Kesalahan awal yang terjadi adalah karena perekrutan kepengurusan komite sekolah sendiri tidak proporsional dan profesional, dan tidak jarang hanya formalitas. Tidak mengherankan jika komite sekolah sering dikritisi masyarakat sebagai format baru BP3.

Kelima, perlunya semacam lembaga independen semacam education watch di daerah, yang secara khusus akan melakukan kontrol mandiri terhadap lembaga sekolah di satu sisi; dan melakukan advokasi kepada masyarakat yang membutuhkannya. Lembaga ini akan menjadi lembaga yang independen, yang terlepas dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu. Fokus utamanya, tentu advokasi kepada masyarakat, baik itu masyarakat sekolah maupun masyarakat yang secara finansial terkait langsung dengan sekolah.

AKHIRNYA, mudah-mudahan sinyalemen yang dimunculkan ICW dan Syukur Budiardjo di awal tulisan ini akan menjadi "lampu kuning" bagi sekolah dan guru, kemudian ada kesadaran dari berbagai pihak untuk ikut mengawal terbebasnya institusi luhur pembangunan moral itu agar bersih dari korupsi. Di sinilah dibutuhkan masyarakat yang kuat, cerdas, dan berani menuntut hak-haknya atas lembaga pendidikan yang tidak memberikan "layanan" selayaknya. Apalagi mengindikasikan "tanda-tanda" koruptif.

Asro Guru TK Nizamia Andalusia

Masukan Saja Korupsi ke Sekolah !!!

Rasanya sudah habis kesabaran kita menunggu, rasanya terlalu jengkel kita melihat, seluruh perasaan muak bercampur dengan sedih menjadi awan kelabu bagi Indonesiaku yang terjangkit virus mematikan nan menakutkan : virus korupsi.

Korupsi adalah awan kelabu bagi Indonesia. Virus ini adalah penyebab No. 1 kehancuran bangsa Indonesia. Sudah seharusnya bangsa Indonesia menjadikan korupsi sebagai musuh utama dan terbesar yang harus dihancurkan. Namun proses penghancuran korupsi selama ini berjalan dengan amat lambat. Seolah ada tebing yang sangat tinggi menghalangi kita semua. Akhirnya kita pun lelah, menyerah. Dan kita semua seolah hanya terdiam, sang musuh seolah dilupakan, dibiarkan beraksi menebar ancaman, menginfeksi generasi-generasi penerus! Koruptor-koruptor baru pun lahir, dan kitalah yang membiarkan mereka terlahir! Tumbuh dewasa menjadi sosok menakutkan yang menghancurkan Indonesia. Mereka lebih pintar, mereka lebih kejam, mereka lebih jahat, mereka beraksi dengan gaya baru yang lebih cerdas! dan…sekali lagi, kitalah yang membiarkan mereka terlahir!

Para koruptor terlahir sebagai manusia terdidik. Mereka adalah output dari dunia pendidikan di Indonesia. Ya, terkadang mereka adalah output dengan kualitas terbaik, namun tidak dalam hal moralitas. Dan kita harus mengakui hal tersebut walaupun itu menyakitkan bahwa koruptor merupakan hasil yang “memuakan” dari dunia pendidikan di Indonesia. Kita boleh berkelit tak mengakui, tetapi seperti itulah kenyataannya. Para pejabat yang korupsi adalah manusia-manusia terdidik dengan titel pendidikan yang beragam : Sarjana, Master, Doktor, dll. Namun dalam titelnya itu tersimpan sebuah virus yang mematikan yaitu virus korupsi. Dan kita seharusnya mewaspadai juga takut dengan kenyataan ini. Tidakkah kita berpikir bahwa suatu saat kita juga “memiliki kemungkinan” untuk terjangkit virus tersebut ? bukankah virus korupsi menyebar dengan sangat cepat di Indonesia ? bagaimana kalau kita nanti terinfeksi virus tersebut? Bukankah Indonesia adalah produsen terbesar para koruptor ? bagaimana kalau salah satu dari koruptor di masa yang akan datang itu adalah aku ? kamu ? Menjadi seorang koruptor ? lalu ikut-ikutan menghancurkan Indonesia, ah…aku takut! sangat takut !

Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi

Diatas saya kemukakan bahwa koruptor merupakan output dari dunia pendidikan di Indonesia. Maksud saya berkata seperti itu janganlah diartikan bahwa perbuatan korupsi diajarkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Maksud perkataan saya adalah bahwa para koruptor merupakan orang-orang yang telah melewati jenjang pendidikan di Indonesia. Dan ini merupakan fakta menarik, ternyata pendidikan di Indonesia tidak dapat mencegah perbuatan korupsi. Pada kenyataannya korupsi semakin bertambah dengan pemain-pemain baru yang berskill tinggi. Dengan kenyataan ini bukan berarti saya menuduh dunia pendidikan Indonesia telah gagal, namun menurut saya ada yang “kurang” dari dunia pendidikan di Indonesia. Dan kekurangan itulah yang menyebabkan kegagalan kita mencegah perbuatan korupsi. Oleh sebab itu kita harus segera menutup kekurangan tersebut dengan memasukan pendidikan Anti-Korupsi ke dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya kita berharap bahwa output manusia dari dunia pendidikan di Indonesia adalah mereka yang memiliki kualitas tinggi plus Anti-Korupsi. Sekali lagi, berkualitas tinggi plus Anti-korupsi! Dan itu semua hanya akan bisa terwujud kalau pendidikan anti-korupsi diajarkan di sekolah-sekolah dari SD sampai SMU sampai perguruan tinggi dalam wujud “mata pelajaran Anti-Korupsi”.

Membunuh Virus Korupsi

Virus korupsi tidak cukup dicegah, namun harus dibunuh! dan satu-satunya cara untuk membunuh virus ini adalah melalui jalur pendidikan. Mengapa harus melalui jalur pendidikan ? karena melalui jalur inilah generasi muda dipupuk, dibina, dan diberikan pemahaman yang nantinya akan terbentuk suatu pola pikir dalam bertindak sehingga akhirnya akan menghasilkan suatu karakter diri. Indah rasanya jika karakter-karakter yang terbentuk adalah mereka manusia Indonesia yang cerdas, berkualitas, dan membenci korupsi, mengharamkan perbuatan korupsi. Pendidikan Anti-korupsi dapat menjadi imun atau anti-virus yang dapat mencegah virus korupsi menyebar.

Sudah saatnya wajah dunia pendidikan Indonesia menampilkan sesuatu yang baru dan revolusioner. Bukankah penddikan yang baik adalah yang mampu menjawab tantangan jaman ? yang mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkini ? oleh karena masalah terbesar kita adalah korupsi, maka pendidikan anti-korupsi sudah saatnya menjadi bagian dari sejarah dunia pendidikan Indonesia.

Percayalah, bahwa ini merupakan satu-satunya cara! sudah saatnya mata pelajaran Anti-korupsi menghiasi buku-buku tulis para pelajar Indonesia, memberikan pemahaman tentang perbuatan korupsi pada para pelajar, menghiasi perpustakaan-perpustakaan dengan buku-buku anti-korupsi.

Ah, indah rasanya melihat guru-guru di depan kelas menjelaskan betapa bahaya dan mengerikannya perbuatan korupsi, menjelaskan sejarah kehancuran Indonesia disebabkan perbuatan korupsi, menanamkan kebencian sejak dini pada para pelajar terhadap perbuatan korupsi, memberitahukan kepada siswanya siapa saja pejabat-pejabat yang terlibat korupsi, siapa saja pejabat yang telah dihukum karena perbuatan korupsi.

Ah, tidak malukah para pejabat itu kala namanya disebut-sebut di dalam kelas diseluruh Indonesia ? tidak malukah mereka ketika namanya dicaci maki oleh seluruh pelajar Indonesia? ketika namanya masuk dalam soal ujian siswa dengan pertanyaan : “Siapakah pejabat yang terlibat kasus korupsi di KPU dengan kerugian sebanyak 100 miliar? “ dan para murid menjawab dengan benar. Nama sang koruptor akan mereka ingat lekat dalam alam bawah sadar mereka, selamanya.

Mungkinkah para murid berpikir untuk melakukan perbuatan serupa! ? ah, tidak, mereka pasti tidak mau masuk ke dalam soal ujian sebagai seorang koruptor! Memalukan….
Dan…ketika saat indah itu terjadi, masihkan virus korupsi tetap dapat hidup di Indonesia ?***

“…dan terdengar sayup-sayup di televisi, percakapan artalyta dan jaksa-jaksa TAK TAHU DIRI !!!…
Merekalah yang nanti akan menjadi tokoh-tokoh utama korupsi; dibuku-buku pelajaran, menghiasai perpustakaan, dicaci jutaan pelajar !!!..”

Silakan Lihat-lihat

mau sekolah atau gengster


pungutan karena apbn belum 20%


SD dan SMP Negeri Bebas Pungutan

Pungutan biaya pendidikan kepada orangtua murid kembali menjadi perhatian setelah Forum Komunikasi Orangtua Murid Sekolah Dasar Negeri Percontohan Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta, menggugat komite sekolah dan kepala sekolah ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya.
FKOM-SDNP UNJ menyinyalir adanya penggelapan dan duplikasi anggaran pendidikan pada tahun ajaran 2005/2006.
Kaka Tayasmen, salah satu orangtua murid yang mengadukan kasus ini ke polisi, mengatakan, selain menghimpun dana dari orangtua murid Rp 7.500.000 per siswa, komite sekolah dan kepala sekolah telah mengambil dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI. "Sampai saat ini laporan pertanggungjawabannya tidak ada. Makanya kami membawa kasus ini ke pihak berwajib," kata Kaka.
Agustus lalu, FKOM-SDNP UNJ juga memprotes kebijakan komite sekolah yang akan memungut uang pangkal kepada siswa baru Rp 6.200.000 per siswa baru pada tahun ajaran 2007. Jumlah ini belum termasuk iuran bulanan senilai Rp 100.000 per siswa dari kelas I sampai VI.
Protes atas pungutan sekolah juga dilakukan sejumlah orangtua di SD Negeri Koalisi 01 Menteng, Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Kreshna A Mangontan, salah seorang orangtua murid, mengatakan, komite sekolah masih memungut iuran bulanan Rp 200.000 per siswa dari kelas I sampai VI.
Padahal, Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Nomor 001 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Biaya Operasional Pendidikan Sekolah Dasar, SD Luar Biasa, Madrasah Ibtidaiyah, serta Sekolah Menengah Pertama, SMP LB, Madrasah Tsanawiyah Negeri menyatakan komite sekolah dilarang memungut biaya pendidikan kepada orangtua murid.
Mangontan mengatakan, larangan ini membuat komite sekolah melakukan "akal-akalan" dengan meminta sumbangan ke orangtua. Dalihnya, masyarakat peduli pendidikan SDN 01 Menteng. Peraturan itu memang membolehkan komite sekolah menghimpun dana dari masyarakat dan dunia usaha.

Bebas pungutan
Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Sylviana Murni membenarkan, terhitung sejak 1 Juli 2007, pihak sekolah tidak bisa lagi memungut uang dari orangtua murid dengan dalih serta cara apa pun. Hal itu tertuang dalam Juknis Pengelolaan BOP SDN, SDLB, MI, serta SMP, SMP LB, MT Negeri di Jakarta.
"Semua anggaran pendidikan sudah ditanggung pemerintah, baik lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Daerah, bantuan operasional sekolah dan biaya operasional pendidikan," kata Sylviana.
Secara terpisah, Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Maman Ahdiat membenarkan, pihak sekolah melalui komite sekolah bisa menghimpun sumbangan sukarela dan tidak mengikat dari masyarakat dan dunia usaha. Tapi, yang disebut sebagai masyarakat tidak termasuk orangtua murid.
"Kalau orangtua murid ada yang ingin membantu biaya pendidikan, mereka sebagai donatur. Namanya juga donatur, sumbangannya tidak wajib dan sifatnya sukarela, tidak dipaksakan," kata Maman. Jika masih terjadi pungutan atau indikasi penyalahgunaan anggaran , dapat melaporkan secara berjenjang lewat Kepala Sie Dikdas Kecamatan atau langsung ke dinas, dapat melalui Kotak Pos 0808 atau surat elektronik dikdas@dikdasdki.go.id.
BOS dan BOP
Maman mengatakan, setiap SD, SDLB, MI dan SMP, SMPLB, MT negeri wajib membebaskan biaya pendidikan seluruh siswa yang terdaftar di sekolah dan dilarang memungut dana dari orangtua dengan dalih serta cara apa pun.
Pemerintah pusat dan provinsi telah memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional pendidikan (BOP), selain APBN dan APBD. Orangtua dan komite sekolah harus mengetahui, dana BOS dan BOP tidak bisa digunakan membiayai kegiatan yang bersumber dari APBN dan APBD, seperti guru pegawai tidak tetap (PTT) serta tugas pokok dan fungsi guru, antara lain menyusun dan melaksanakan program pengajaran dan layanan, evaluasi dan menganalisis hasil evaluasi, serta perbaikan dan pengayaan.
Dana BOS digunakan antara lain untuk pembiayaan seluruh kegiatan penerimaan siswa baru, seperti biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang. Selain itu, pembelian buku teks pelajaran dan buku penunjang perpustakaan, serta bahan habis pakai, seperti buku tulis, kapur tulis, pensil, dan bahan praktikum.
BOS juga mendanai kegiatan kesiswaan, misalnya pengayaan, ekstrakurikuler seperti olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, dan palang merah remaja. Juga ulangan harian, umum, ujian sekolah, laporan hasil belajar siswa, dan pengembangan profesi guru, seperti pelatihan.
Sementara dana BOP digunakan antara lain untuk perbaikan ringan gedung sekolah, pemeliharaan tempat ibadah, pagar, taman dana lapangan olahraga, termasuk bayar tukang, membayar telepon, air, dan listrik, serta membayar penjaga sekolah nonpegawai negeri sipil.
Aturan Pungutan Sekolah
Komite sekolah dan kepala sekolah tidak bisa seenaknya memungut biaya pendidikan kepada orangtua murid. Pengendalian pungutan sekolah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan, Keputusan Gubernur DKI Nomor 965 Tahun 2007 tentang Biaya Operasional Pendidikan Tahun Anggaran 2007, dan Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Nomor 001 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOP SD, SDLB, MI, SMP, SMPLB, MTs, SMA, dan SMK Negeri dan Swasta Tahun Anggaran 2007.
1. Terhitung tanggal 1 Juli 2007, komite sekolah dan kepala sekolah tidak bisa lagi menghimpun dana dari siswa SD, SDLB, dan MIN serta SMP, SMPLB, dan MTs, termasuk sekolah koalisi, percontohan, serta madrasah model dengan cara apa pun.
2. Pemprov DKI telah memberikan bantuan dana BOP kepada sekolah negeri berdasarkan jumlah siswa terdaftar. Sementara sekolah dan madrasah swasta dialokasikan terutama kepada siswa dari keluarga kurang mampu.
3. Kepala sekolah wajib memublikasi dan menginformasikan BOP kepada guru, orangtua dan wali murid, serta komite sekolah sekurang-kurangnya dalam bentuk surat edaran kepala sekolah dan pengumuman.
4. Komite sekolah dapat menghimpun sumbangan sukarela dan tidak mengikat dari masyarakat dan dunia usaha serta dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan.
5. Sumbangan yang dihimpun komite sekolah menjadi bagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah dan digunakan membiayai kegiatan sekolah yang belum didanai BOP, BOS, dan block grant APBN.
6. Pemerintah mendanai pembangunan sarana dan prasarana, seperti ruang belajar, tempat berolahraga dan ibadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
7. Dana BOP untuk mendukung pelaksanaan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, meningkatkan kinerja tenaga pendidik dan kependidikan, melengkapi kebutuhan sarana pendidikan, memelihara sarana dan prasarana pendidikan, serta meningkatkan pengelolaan administrasi sekolah.
8. Dana BOP tidak bisa digunakan membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat dan daerah, seperti guru pegawai tidak tetap, tugas pokok dan fungsi guru, serta pegawai sesuai dengan ketentuan berlaku.
9. Keperluan pendidikan yang sifatnya dimiliki pribadi siswa menjadi tanggung jawab orangtua siswa. (PIN)—
Kompas, Minggu, 23 September 2007

Mempertanyakan Akuntabilitas Dana Pendidikan

SEANDAINYA aktor-aktor negara konsisten menjalankan konstitusi, keluhan tentang gaji guru yang rendah, masalah anak-anak miskin yang tidak bisa bersekolah, sekolah gratis untuk pendidikan wajib (SD dan SMP) tidak bakal ada masalah lagi. Dengan dalih anggaran terbatas, konstitusi dilanggar. Ketentuan UUD bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilanggar.

PENDIDIKAN ternyata tidak dianggap penting, baik oleh penguasa di pemerintahan pusat, daerah, sampai di tingkat sekolah. Masyarakat dibiarkan menunggu janji alokasi 20 persen anggaran pendidikan mulai direalisasikan pada tahun 2009.

Sejumlah daerah memang mengklaim telah mengalokasikan 20 persen dana APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, ternyata komponen gaji guru dimasukkan di dalamnya. Anggaran di tingkat sekolah sama saja. Di sekolah-sekolah negeri, sebagian besar dana yang dihimpun dari masyarakat juga dipergunakan untuk menambah kesejahteraan guru dan segala tetek bengek yang tidak ada kaitan langsung dengan peningkatan mutu pendidikan.

Berapakah biaya per unit yang wajar untuk pendidikan bermutu standar? Staf pengajar Universitas Muhammadiyah HAMKA Jakarta Abdorrakhman Gintings mengemukakan, sebuah sekolah swasta yang tergolong bermutu di Medan hanya memungut biaya rata-rata Rp 100.000 kepada siswanya.

Bila jumlah siswa di Indonesia total 24 juta anak, dana yang dibutuhkan untuk penyelenggarakan pendidikan bermutu hanya Rp 28,8 triliun. Dengan dana pendidikan di
APBN sebesar Rp 39 triliun, masih ada sisa sekitar Rp 10,2 triliun. "Silakan yang Rp 10 triliun akan digunakan untuk apa. Untuk bohong-bohongan, silakan saja, karena kita sudah bisa punya sekolah bermutu. Namun, uangnya benar-benar diserahkan ke sekolah, jangan lewat dinas," kata Gintings.

Pembiayaan pendidikan selama ini berada di wilayah abu-abu. Ketentuan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan sejak awal sudah salah kaprah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 46 Ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Ketentuan ini kemudian diterjemahkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan sekolah negeri hanya separuh, sisanya diambil dari masyarakat. Tidak peduli apakah sekolah itu pada jenjang pendidikan wajib atau tidak.

Pungutan dari masyarakat menjadi sebuah keharusan yang membuat biaya sekolah negeri menjadi semakin mahal, perilakunya tidak berbeda dengan sekolah swasta sehingga akses orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang baik makin tertutup. Sekolah swasta mulai memperlakukan pendidikan seperti barang dagangan lainnya, seperti sabun, sampo, kulkas, atau televisi. Pendidikan pun mahal, pengeluaran untuk sekolah tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh kelak ketika ia lulus.

PENDIDIKAN menurut ketentuan undang-undang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Akan tetapi, sejauh ini belum ada perubahan berarti di lapangan. Cara pembagian anggaran dan pengelolaannya masih seperti dulu.

Otonomi daerah justru sering dituding sebagai kambing hitam pendidikan yang makin terpuruk pascareformasi. Jabatan kepala dinas pendidikan diisi oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi bidang pendidikan. Pejabat yang seumur-umur mengurusi pasar atau kuburan diangkat untuk menjadi kepala dinas pendidikan. Anggaran yang dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru dipergunakan untuk yang lain. Dana block grant yang diserahkan ke sekolah "dikoordinasikan" oleh dinas, yang ujung-ujungnya tidak tepat sasaran. Di sejumlah daerah, dana operasional untuk sekolah menurun atau sama sekali
menghilang.

Hanya satu-dua daerah yang pandai menangkap peluang otonomi untuk memajukan rakyat di daerahnya, seperti Kabupaten Bantul (DI Yogyakarta) dan Jembrana (Bali). Lainnya, otonomi seolah tidak mengubah apa-apa. Struktur anggaran dan cara kerja birokrasi pendidikan nyaris seperti zaman yang telah berlalu. Malik Fadjar saat menjabat sebagai Mendiknas pernah mengeluarkan keputusan tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan yang harus dilakukan daerah, namun aturan ini cenderung mengedepankan ukuran-ukuran kuantitatif dan belum menjadi komitmen di lapangan.

Departemen Pendidikan Nasional baru-baru ini membuat riset tentang pembiayaan pendidikan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Meski APBD Kabupaten Musi Banyu Asin pada 2004 lebih tinggi dari APBD Kabupaten Sumedang, ternyata anggaran pendidikan Kabupaten Musi Banyuasin (termasuk gaji guru) lebih rendah daripada Sumedang. Dari total APBD sebesar Rp 518,4 miliar, Musi Banyu Asin mengalokasikan Rp 102,8 miliar untuk pendidikan. Sementara APBD Sumedang Rp 428,8 miliar, sebesar Rp 209 miliar dianggarkan untuk pendidikan.

Ketika komponen gaji guru dikeluarkan, anggaran pendidikan di kedua kabupaten itu masih sangat kecil. Di Kabupaten Sumedang 92 persen belanja pendidikan untuk gaji guru. Di luar gaji guru, anggaran yang tersisa untuk pendidikan hanya Rp 45,4 miliar. Sementara di Kabupaten Musi Banyuasin hanya Rp 30,1 miliar. Itu pun sebagian besar dialokasikan untuk birokrasi sehingga dana yang turun sampai ke sekolah sangat tidak memadai.

Diskriminasi anggaran pun tampak jelas ketika kedua kabupaten memberikan kontribusi anggaran pemerintahan daerah yang sangat kecil pada madrasah, bahkan tidak memberikan kontribusi sama sekali untuk sekolah swasta.

Berapa dana yang rata-rata diterima sekolah dan siswa? Sangat kecil. Dana yang diberikan untuk SD tiap bulan di Musi Banyuasin hanya sekitar Rp 346.667 juta, sedangkan di Kabupaten Sumedang sebesar Rp 722.629 juta. Dana yang dialokasikan untuk setiap siswa sekolah negeri di Sumedang hanya Rp 3.788 juta (SD), Rp 6.117 juta (SMP), Rp 6.382 juta (SMA), dan Rp 11.091 juta (SMK). Sementara di Musi Banyuasin dana per siswa yang diberikan pemerintahan daerah hanya sebesar Rp 2.029 juta untuk siswa SD. Di Jenjang yang lebih atas agak lumayan Rp 14.835 juta untuk SMP, Rp 20.494 juta untuk SMA, dan Rp 28.412 juta untuk SMK.

Ada beberapa alternatif yang disarankan untuk memperbesar porsi anggaran belanja non-gaji, seperti reorganisasi dinas pendidikan dengan merampingkan jumlah pegawai dengan meningkatkan kinerjanya dan memperbesar rasio antara guru dan peserta didik. Di Kabupaten Sumedang, pegawai dinas pendidikan dinilai terlalu banyak dan hanya sebagian saja yang benar-benar memberikan kontribusi nyata terhadap organisasi tempat ia bekerja.


TIDAK jauh berbeda dengan anggaran pendidikan di pemerintahan, anggaran pendidikan di sekolah pun sebagian besar terserap untuk tambahan kesejahteraan guru, kegiatan administrasi, dan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mutu. Sejumlah contoh Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dan realisasinya bisa dilihat dalam studi sumber-sumber keuangan pendidikan di luar anggaran
pemerintah yang pernah dilakukan Departemen Pendidikan Nasional.

SD Negeri Kertajaya XII Surabaya, pada tahun 2003-2004 memperoleh pendapatan dari sumbangan murid sebesar Rp 147 juta dari sejumlah 91 siswa dan dari donatur sebesar Rp 6.300.000. Dari dana tersebut, Rp 144 juta dipergunakan untuk honor dan insentif guru, Rp 2,4 juta untuk tunjangan kesejahteraan, dan Rp 600.000 untuk keperluan transportasi. Di SD Negeri Ungaran I Semarang sumbangan yang ditarik dari masyarakat pada tahun 2003 mencapai Rp 100.950.000. Dari dana tersebut, Rp 43.760.000 dipergunakan untuk tambahan kesejahteraan guru.

Di SMP Negeri 6 Yogyakarta, pada tahun ajaran 2003-2004 dana yang dihimpun dari komite sekolah sebesar Rp 353.700.000, sejumlah Rp 129.380.00 dialokasikan untuk honor dan kesejahteraan guru. Sebagian besar dana lainnya terserap untuk pengecatan gedung, pengadaan teralis, pemeliharaan gedung dan halaman sekolah, listrik, dan lain-lain. Anggaran dari komite yang dialokasikan untuk peningkatan mutu pendidikan adalah pembelian komputer, printer, dan pemeliharaan komputer dan laboratorium bahasa.

Sumber ganda pembiayaan sekolah negeri, dari dana pemerintah dan dana masyarakat, merupakan penyebab keruwetan selama ini. Sekolah negeri yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pada praktiknya justru berkompetisi dengan sekolah swasta dalam menggalang dana dari masyarakat. Komite sekolah bukannya menjadi pembela masyarakat, tetapi justru menjadi alat kepala sekolah untuk mempermainkan biaya pendidikan. Sebuah SMA negeri di Bandung memungut uang masuk pertama Rp 6 juta. Jumlah itu bahkan lebih besar daripada biaya masuk perguruan tinggi swasta.

Akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan dari pusat, daerah sampai ke level sekolah menjadi pertanyaan. Anggaran yang dikeluarkan negara untuk pendidikan terus meningkat, biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat makin mahal, tetapi mutu pendidikan begitu-begitu saja, bahkan terus merosot. (P Bambang Wisudo)

Kompas, Selasa, 03 Mei 2005

Transparansi Dana Sekolah, Mengapa Susah?

Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pada publik, sekolah perlu didorong untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah yang selanjutnya disingkat RAPBS adalah rencana terpadu penerimaan dan penggunaan serta pengelolaan dana selama satu tahun pelajaran.

Tujuan pedoman penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah adalah acuan bagi pengelola pendidikan, komite sekolah, dan orangtua/wali siswa dalam penyusunan RAPBS untuk memenuhi seluruh pembiayaan kebutuhan dan/atau kegiatan sekolah yang selanjutnya dibahas melalui mekanisme demokrasi, transparan dan akuntabel untuk ditetapkan menjadi anggaran APBS.

Sasaran pedoman penyusunan RAPBS adalah tersedianya informasi penerimaan dan penggunaan keuangan sekolah yang berasal dari berbagai sumber dana sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan pendidikan yang mengakibatkan penggunaan keuangan sekolah.

RAPBS ini disusun tahunan dan bersifat terbuka. Hal itu untuk mengikis korupsi dan mendidik sekolah menjadi organisasi modern. Salah satu ciri organisasi modern adalah memiliki perencanaan anggaran.

Sejumlah sekolah memiliki RAPBS, tapi belum ada yang benar- benar disiplin dan transparan. Dengan adanya RAPBS, sekolah harus mengestimasi dari mana saja akan mendapatkan uang, seperti iuran, sumbangan perorangan, badan usaha swasta, atau subsidi negara. Sekolah juga mengestimasi uang itu akan dikeluarkan untuk apa saja. Dari sini, audit menjadi ada dasarnya.
Cara penyusunan RAPBS pun harus jelas. RAPBS disusun dan diputuskan paling tidak oleh kepala sekolah dan orangtua siswa dan tidak bisa ditentukan satu-dua orang.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah yang selanjutnya disingkat APBS adalah keuangan tahunan sekolah sebagai pedoman pembiayaan penyelenggaraan sekolah yang ditetapkan melalui rapat pleno orangtua/wali siswa, komite sekolah, dan dewan guru serta disahkan pejabat yang ditetapkan.

RAPBS dibahas dalam rapat pleno seluruh orangtua/wali siswa, pengurus komite sekolah, guru, tata usaha sekolah dan unsur lain yang relevan, secara musyawarah dengan prinsip demokratis, transparan, dan akuntabel. Selanjutnya RAPBS ditetapkan menjadi APBS oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah.

Diduga gagasan ini akan banyak ditentang sekolah karena ini justru akan mempersempit ruang gerak "bermain" sekolah. "Pihak sekolah akan cenderung menghindari ini karena di situlah dana tilepan bermain.

Dalih, meski di bibir mengiyakan, namun dalam hati tampak berat sekali. Sehingga dalihnya adalah, semua pihak dalam komunitas sekolah bisa tidak menerima itu. Sekolah sebagai lembaga pendidikan belum banyak dilihat dari perspektif pendanaan. Jadi, perlu sosialisasi.

Padahal, pengelolaan keuangan di tubuh sekolah saat ini masih centang-perenang. Contoh, untuk mendapatkan dana, kepala sekolah mengadakan pungutan-pungutan yang tak memiliki dasar. Bahkan, umumnya guru pun ditarget untuk mencari dana dan setor ke kepala sekolah. Masing-masing guru akhirnya ada juga yang mengantongi uang pungutan. Ini yang membuat sekolah rusak.

Dengan adanya dorongan sekolah untuk menyusun RAPBS, maka pengelolaan keuangan sekolah akan menjadi relatif bersih. Sehingga kasus penyelewengan dana BOS yang belakangan marak terungkap di berbaga media pun, niscaya mengalir ke kantong individu-individu sekolah.
Memang, saatnya, sekolah memiliki perencanaan anggaran sebagai landasan hukum terkait penerimaan dan pengeluaran sekolah.

mekanisme penyaluran dana BOS

Uang Mengucur, Transparansi Kendur


Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Suyanto, mengatakan, pemerintah akan terus mengucurkan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Pada tahun 2008, program BOS mencapai Rp 11,2 triliun. Jumlah tersebut, katanya, sudah termasuk BOS yang dikucurkan melalui Departemen Agama.
"Pemerintah akan terus melanjutkan program BOS, sebab program ini mampu membebaskan siswa yang tidak mampu dan dapat meringankan siswa lainnya. Karena itu, mereka diharapkan memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu," ujar Suyanto.
Ironisnya, di tengah kucuran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang terus digelontorkan, beban biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua murid malah semakin bertambah. Hal ini misalnya tampak dari hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada lima daerah yakni DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Garut, Kota Padang, dan Kota Banjarmasin pada tahun 2007.
Manajer Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, selama tahun 2007 orangtua murid sekolah dasar harus mengeluarkan biaya pendidikan anak rata-rata sebesar Rp4,7 juta. Dana itu untuk biaya tidak langsung seperti membeli buku, alat tulis, dan les privat yang mencapai RP 3,2 juta.
Sedangkan biaya pungutan sekolah seperti pembayaran lembar kerja siswa (LKS), buku paket, uang infak, penerimaan siswa baru dan uang bangunan sekolah mencapai Rp 1,5 juta. Pengeluaran terbesar, katanya adalah untuk pungutan kursus di sekolah sebesar Rp 311.000. Kemudian, diikuti pungutan buku ajar, bangunan serta LKS dan buku paket masing-masing Rp 145.000, Rp 140.000 dan Rp 123.000.
"Padahal anggaran dana BOS buku mencapai Rp 900 miliar. Itu berarti setiap siswa mendapatkan Rp 254 ribu per tahun. Tapi kenyataannya biaya yang dikeluarkan orangtua untuk sekolah terus meningkat," ujarnya.
Bahkan, kata Ade, beberapa pungutan yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena telah menerima dana BOS, masih saja terjadi, seperti uang ujian, uang ekstra kurikuler, uang kebersihan, uang daftar ulang, dan uang perpisahan sekolah.


Tidak Transparan



Penyebab utama pungutan "liar" tersebut kata Ade adalah karena tidak adanya transparansi pengelolaan uang yang dipungut dari orangtua siswa. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan uang sekolah yang telah dipungut.
Dari penelitiannya, Ade bahkan sampai pada kesimpulan bahwa tindakan korupsi yang terjadi dalam setiap pungutan tersebut, terjadi pada semua tingkatan, dan berlangsung secara sistemik. Mulai dari Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan, hingga sekolah-sekolah.
Aktivis Aliansi Orangtua Peduli Tranparansi Dana Pendidikan (Auditan) Teguh Imawan mengatakan, selain karena mental manajemen sekolah yang korup, pungutan itu terjadi karena adanya tekanan struktural yang diterima sekolah. Agar bisa diangkat menjadi kepala sekolah, seseorang misalnya, harus memberikan uang sogokan. Selain itu, para penilik yang melakukan pengawasan sering meminta jatah kepada sekolah.
Ironisnya, transparansi anggaran dan pungutan di sekolah, kata Teguh, hampir tidak ada. Selain karena tidak adanya kemauan politik manajemen sekolah, juga karena adanya sikap tidak peduli para orang tua murid untuk menekan sekolah agar lebih transparan serta menolak berbagai pungutan.
"Oleh karena itu, butuh political will manajemen sekolah dan kepedulian orang tua. Peduli dalam arti menuntut pengelolaan dana transparan dan menolak permintaan sumbangan," ujar Teguh.
Salah satu bentuk manajemen pengelolaan yang transparan itu, kata Teguh adalah dengan membuka Anggaran Penerimaan Belanja Sekolah (APBS) kepada para orang tua murid. Namun, sayang, APBS selama ini sering tidak diketahui orang tua. Bahkan, sekolah membuat anggarannya sendiri tanpa melibatkan orang tua.
Berdasarkan ketentuan, berbagai pungutan dalam berbagai bentuk, cara dan dalil apa pun sudah tidak boleh dilakukan. Namun, kata Teguh, sekolah masih saja diam-diam melakukan pemungutan atas beragai cara, bentuk dan alasan.
"Hari gini, sudah tidak ada pungutan dalam bentuk dan cara apa pun. Karena itu, pemerintah harus memberi sanksi tegas kepada sekolah yang masih melakukan pungutan," ujarnya.
Komite Sekolah, katanya, memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan terhadap berbagai kebijakan dan pungutan yang dilakukan sekolah. Namun, ironisnya, Komite Sekolah malah melakukan persekongkolan dengan sekolah. "Sekitar 95 persen Komite Sekolah malah melakukan kongkalikong dengan sekolah," ujarnya.
Dengan dana bantuan berupa bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP) yang dialokasikan pemerintah, sekolah seharusnya sudah sangat berkecukupan untuk menyelenggarakan pendidikan, tanpa memungut biaya dari orang tua siswa.
"Dengan dana bantuan yang mencapai 170 ribu rupiah tiap anak, semua biaya sebenarnya sudah ter-cover. Karena itu, di Jakarta wajar kalau sudah ada sekolah SD dan SMP yang gratis," ujarnya.

Kamis, 14 Agustus 2008

Praktik Korupsi Juga Diakui Terjadi di Sekolah-sekolah

Praktik Korupsi Juga Diakui Terjadi di Sekolah-sekolah

Jakarta, Kompas - Sejumlah guru dari berbagai sekolah di Jakarta dan sekitarnya, Rabu (14/1), mengakui terjadinya praktik korupsi di sekolah-sekolah, baik yang dilakukan oleh sejumlah oknum guru, kepala sekolah, maupun birokrasi pendidikan di atasnya. Korupsi yang dilakukan guru pada umumnya dilatarbelakangi persoalan perut. Korupsi yang lebih besar biasanya dilakukan oleh kepala sekolah bekerja sama dengan birokrasi pendidikan di atasnya.

Meskipun praktik korupsi di tingkat sekolah tidak melibatkan dana yang besar, tetapi akibat yang ditimbulkannya luar biasa karena akan memperluas budaya korupsi yang telah ada dalam masyarakat.

Pengakuan tersebut dikemukakan guru-guru dalam pertemuan dengan aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) di Universitas Negeri Jakarta, kemarin.

Manajer Program ICW Ade Irawan mengungkapkan, hasil survei ICW menunjukkan, lebih dari 90 persen responden mengakui masih terjadinya berbagai pungutan di sekolah. Pungutan itu berupa iuran bangunan, uang seragam, pengadaan buku paket, biaya studi tur, ekstrakurikuler, sampai pelajaran tambahan.

"Orangtua pada umumnya menilai guru sebagai aktor korupsi meskipun sebenarnya mereka juga merupakan korban korupsi," kata Ade.

Seorang guru di SMU Negeri 17 mengemukakan, praktik seperti itu tidak bisa disebut korupsi karena pungutan tersebut dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari rapat komite sekolah. Dana dikeluarkan oleh bendaharawan yang ditunjuk. Guru, menurut dia, juga tidak memperoleh keuntungan pribadi dari diskon penjualan buku pelajaran karena pengadaan buku dilakukan melalui koperasi.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Syamsul Rizal dari SMU Negeri 68. Menurut dia, semua anggaran di sekolahnya dilakukan secara transparan karena dewan guru dilibatkan dalam penentuan honorarium tambahan guru dan kepala sekolah. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) bisa diakses siapa saja, meskipun ia mengakui belum ada audit lembaga independen untuk memeriksa dana yang dipergunakan sekolah.

Namun, penjelasan tersebut dibantah oleh Syukur Budiardjo yang mengaku telah 20 tahun mengajar sebagai guru SMP negeri di Jakarta. Menurut dia, korupsi terjadi di sekolah-sekolah. Praktik jual beli nilai banyak dilakukan oleh guru olahraga dengan memberikan nilai 4 atau 5 bagi anak-anak yang tidak membayar uang renang. Sejumlah guru menjual fotokopi ulangan.

Ia mengakui bahwa di sekolah tempat ia mengajar dan sejumlah sekolah lain keuangan memang dilakukan secara transparan. Akan tetapi, menurut dia, untuk mengukur transparansi tidak cukup dengan memperoleh RAPBS, tetapi melihat pertanggungjawaban pelaksanaannya.

Guru dijadikan tameng

Teti Lokolo, seorang guru SMA negeri di Jakarta, mengungkapkan, RAPBS memang biasanya disampaikan secara terbuka. Akan tetapi, setelah jadi APBS biasanya dipegang mati oleh kepala sekolah. Padahal, di situlah akan diketahui ada tidaknya penyimpangan.

Ia menyatakan keberatan apabila guru disebut sebagai koruptor karena guru biasanya hanya menjadi tameng dari pungutan-pungutan yang dilakukan sekolah. Oleh karena itu, menurut Teti, sebaiknya guru-guru membersihkan nama dengan bersikap kritis dan mengamati apa yang terjadi di sekolah.

Seorang eks guru SMP Negeri 56 juga mengakui terjadinya praktik korupsi di sekolah-sekolah. Ulangan umum bersama (UUB), sekalipun telah dilarang oleh Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah, namun tetap dilakukan oleh sanggar-sanggar. Dari seluruh uang pungutan ulangan bersama yang disetorkan, sekitar 25 persennya kembali kepada kepala sekolah.

"UUB selama ini jadi ladang korupsi," ujarnya.

Ia juga menyebutkan praktik korupsi yang dilakukan kepala sekolah dengan meminta penggantian uang transportasi meskipun telah ada jatah uang transportasi bulanan. Seorang pejabat sekolah juga mengambil honorarium mengajar meskipun ia jarang hadir di sekolah.

Sonny Soemarsono dari Forum Guru Independen Indonesia mengungkapkan, sejumlah sekolah kejuruan swasta hanya menerima dana program Broad Base Education (BBE) sebesar Rp 75 juta dari dana yang seharusnya Rp 125 juta. "Itu pun masih harus dibagi dengan yayasan sehingga operasionalnya hanya sekitar Rp 50 juta," kata Soemarsono.

Seorang guru SD negeri di Bekasi mengungkapkan, dana badan koordinasi yang wajib disetorkan tiap bulan oleh sekolah sebesar Rp 600.000 per bulan. Akan tetapi, jumlah itu bisa berubah-ubah tanpa penjelasan. Dana block grant sebesar Rp 10 juta pada praktiknya diterima hanya sekitar Rp 7,5 juta.

"Masalah uang hanya urusan kepala sekolah. Kepala sekolah ibarat raja di sekolah, guru tidak tahu-menahu masalah seperti itu," ujarnya.

Kekuasaan kepala sekolah

Koordinator ICW Teten Masduki mengemukakan, praktik korupsi di sekolah-sekolah terjadi karena kekuasaan kepala sekolah yang luar biasa. Akibatnya, tidak ada check and balance dan tidak ada akuntabilitas. Kepala sekolah membuat rezim sendiri sehingga tidak bisa dikontrol.

Korupsi yang dilakukan guru, menurut Teten, belum bisa disebut praktik kleptomania karena lebih dilatarbelakangi oleh kecilnya gaji. Akan tetapi, bila praktik tersebut dibiarkan berlangsung, maka sekolah tidak bisa lagi menjadi tempat untuk menempa nilai-nilai yang baik, tetapi sekadar menjadi tempat transfer informasi dan teknologi.

"Meski korupsi yang dilakukan kecil, karena gaji tidak cukup, tetapi efeknya luar biasa. Pusat-pusat nilai yang korup akan menghasilkan masyarakat yang sakit. Pendidikan yang korup akan menghasilkan koruptor," kata Teten. (wis)

Memberantas Korupsi, Mulailah dari Sekolah

Memberantas Korupsi, Mulailah dari Sekolah

KEPUTUSAN sekolah gratis untuk SD dan SMP, di mata Direktur Institute for Education Reform Utomo Dananjaya, bisa menjadi sebuah peristiwa yang sangat heroik.
UTOMO membayangkan keputusan sekolah gratis disampaikan melalui instruksi langsung yang dibacakan Presiden, disiarkan oleh semua stasiun televisi. Isinya, pengumuman bahwa masyarakat tidak perlu membayar untuk memperoleh pendidikan SD dan SMP. Semua buku pelajaran diberikan gratis oleh pemerintah. Siapa pun kepala sekolah yang menarik pungutan dari siswa akan dihukum dan diberhentikan sebagai pegawai negeri. Aparat kepolisian diminta mengawasi dan melakukan penegakan hukum serta meminta agar masyarakat melaporkan setiap kasus pungutan di sekolah kepada polisi.


“Dampaknya akan besar sekali. Ini merupakan proses pendidikan untuk melibatkan masyarakat akan terlibat dalam gerakan antikorupsi,” kata Utomo menjelaskan.
Pendidikan antikorupsi memang sebaiknya dimulai dari sekolah karena selama ini sekolah menjadi salah satu sumber korupsi dan penyebarluasan budaya korupsi.
Sekolah yang memiliki tugas mulia dalam mencerdaskan bangsa ternyata bukan institusi yang bersih dari korupsi. Departemen Pendidikan Nasional, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2003, merupakan departemen terkorup setelah Departemen Agama. Korupsi dalam dunia pendidikan, menurut laporan Indonesian Corruption Watch, dilakukan secara bersama- sama dalam berbagai jenjang, dari tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertontonkan kepada siswanya praktik-praktik korupsi.
Korupsi dana pendidikan, menurut Ade Irawan-aktivis Indonesian Corruption Watch- menyangkut baik dana pemerintah maupun dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Bila aparat birokrasi selama ini mengeluhkan dana pendidikan yang kecil, ternyata dana yang kecil itu dikorup pula.
Investigasi ICW dalam pengadaan buku pelajaran di beberapa daerah menunjukkan bahwa korupsi pendidikan masih jalan terus. Beberapa kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, menganggarkan pengadaan buku miliaran rupiah. Yang terkecil Rp 5 miliar, tetapi ada kabupaten yang menganggarkan pengadaan buku pelajaran sampai Rp 30 miliar. Korupsi dilakukan sejak proses pengambilan keputusan, pengadaan buku tidak melalui tender, hingga distribusi buku ke sekolah. Ujung-ujungnya banyak siswa tidak menerima buku. Itu pun kalau tidak buku yang diterima jumlah halamannya berkurang, bahkan tidak bisa dipakai sama sekali.
Korupsi juga terjadi di sekolah. Ade mengemukakan, banyak sekolah di Jakarta dan Jawa Barat tidak memasukkan komponen dana pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Sebuah SD favorit di Jakarta menerima dana block grant Rp 55 juta yang menjadi komponen tetap pembiayaan sekolah, tetapi tidak mencantumkannya dalam RAPBS. Anggaran SD favorit di Rawamangun, Jakarta Timur, itu mencapai Rp 2,7 miliar, hampir 50 persen dianggarkan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan pegawai. Hanya sekitar 15 persen sampai 20 persen anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan akademis. Di sebuah SMP negeri di Jakarta Selatan, dari dana sekolah sebesar Rp 412 juta yang dipungut dari masyarakat, 75 persen di antaranya dipergunakan untuk kesejahteraan guru dan pegawai. Hanya 15 persen dialokasikan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar. Anehnya, ada pula alokasi anggaran 1,5 persen untuk koordinasi dengan dinas pendidikan di kecamatan dan 1 persen untuk dinas di tingkat kota. Bahkan, ada pos anggaran Rp 5.250.000 untuk polisi.
“Jadi dana yang masuk sekolah dijadikan bancakan, dibagi-bagi. Lebih banyak dana yang masuk ke kantong kepala sekolah,” kata Ade.
Kekaburan dalam sistem anggaran sekolah memungkinkan kepala sekolah negeri mempraktikkan anggaran ganda. Dana operasional atau pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat. Bahkan, ada kasus dana perawatan gedung tidak hanya dianggarkan melalui dana pemerintah dan dana komite sekolah, tetapi masih juga dibebankan kepada anak secara langsung dengan dalih lomba kebersihan antarkelas.
Selain penganggaran ganda, modus yang sering digunakan kepala sekolah adalah penggelapan. Banyak biaya yang semestinya dikeluarkan sekolah ternyata tidak dikeluarkan. Praktik ini sangat mencolok sehingga sejumlah bendahara sekolah menjadi kolektor stempel dan bukti pembayaran sehingga ia tinggal memilih stempel dan bukti pembayaran bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Modus lainnya adalah uang dibagi-bagi dengan setoran ke dinas, memberikan amplop kepada pejabat yang datang ke sekolah, termasuk pengawas. Kepala sekolah yang pelit memberikan setoran bakal dimasukkan daftar hitam dan tidak akan pernah menerima dana-dana proyek.
Guru juga merupakan pelaku sekaligus korban dalam korupsi pendidikan. Guru olahraga memungut biaya renang. Anak tidak ikut renang dan tidak ikut lari asal bayar uang renang, semuanya akan beres. Sebaliknya, bila tidak bayar uang renang, nilai tidak akan keluar. Yang memprihatinkan lagi ada guru yang memperbolehkan siswanya menjiplak dalam ulangan asalkan membayar Rp 500 per lembar. Dari menyontek dan jual beli nilai, pendidikan korupsi dimulai.
Seorang guru di sebuah SMA negeri di Jakarta Pusat mengungkapkan, dari sekolah ia menerima tunjangan hari raya sebesar Rp 400.000, yang diambil dari sumbangan awal pendidikan. Selain gaji sebagai pegawai negeri sipil, ia memperoleh tunjangan kesejahteraan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 900.000, uang transpor dari sekolah Rp 11.000 per hari, dan tambahan honor mengajar Rp 6.000 per jam. Total penghasilannya di atas Rp 2,5 juta. Penghasilan guru di sekolah negeri yang diunggulkan akan jauh lebih besar. Tunjangan seorang kepala sekolah yang diambil dari uang komite sekolah bernilai jutaan rupiah, jauh melebihi dari gaji resminya. Tidak heran apabila kepala sekolah-sekolah negeri papan atas di Jakarta memiliki rumah dan mobil mewah.
Ketika orang sibuk membicarakan persiapan ujian nasional, sejumlah kepala sekolah di Jakarta Pusat justru mengikuti program jalan-jalan ke China dengan bungkus “studi banding”.
Penghasilan guru sekolah negeri sebesar itu cukup mengagetkan bagi Toenggoel Siagian, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta DKI Jakarta. Toenggoel mengungkapkan, ia memperoleh gaji sebagai direktur di Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) sekitar Rp 3 juta per bulan. Gaji itu tertinggi di perkumpulan tersebut. Koordinator SMP PSKD yang memperoleh gelar master dobel hanya bergaji Rp 875.000 per bulan.
Penghasilan guru negeri di Jakarta yang cukup lumayan itu, ketika kinerja sekolah di Jakarta tidak terlalu bagus, menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas penggunaan dana pendidikan di sekolah negeri. Seorang guru SMP negeri di Jakarta mengungkapkan, sebenarnya bisa saja sekolah negeri di Jakarta digratiskan. Dengan tunjangan kesejahteraan dari pemerintah daerah sekitar Rp 900.000 per bulan, guru bisa disuruh memilih.
Silakan tetap memungut dari siswa, tetapi tunjangan kesejahteraan tidak diberikan. Ia yakin, guru akan memilih tunjangan kesejahteraan dari pemerintah daerah.
Keputusan politik untuk membebaskan biaya sekolah di tingkat pendidikan dasar akan menjadi bahan tertawaan bila tidak disertai larangan sekolah memungut biaya-biaya lain dari siswa. Seperti dulu, SPP dihapus, tetapi muncul uang BP3 atau iuran komite sekolah yang jumlahnya lebih besar dari nominal SPP.
Kalau itu terjadi, sekolah akan terus menjalankan fungsinya dalam mengorupsikan bangsa.
Kalau mau memberantas korupsi mulailah dari sekolah. Komisi Pemberantasan Korupsi jangan hanya mengurus Komisi Pemilihan Umum, tetapi turunlah ke Depdiknas dan ke sekolah-sekolah.

(P Bambang Wisudo)