Kamis, 14 Agustus 2008

Praktik Korupsi Juga Diakui Terjadi di Sekolah-sekolah

Praktik Korupsi Juga Diakui Terjadi di Sekolah-sekolah

Jakarta, Kompas - Sejumlah guru dari berbagai sekolah di Jakarta dan sekitarnya, Rabu (14/1), mengakui terjadinya praktik korupsi di sekolah-sekolah, baik yang dilakukan oleh sejumlah oknum guru, kepala sekolah, maupun birokrasi pendidikan di atasnya. Korupsi yang dilakukan guru pada umumnya dilatarbelakangi persoalan perut. Korupsi yang lebih besar biasanya dilakukan oleh kepala sekolah bekerja sama dengan birokrasi pendidikan di atasnya.

Meskipun praktik korupsi di tingkat sekolah tidak melibatkan dana yang besar, tetapi akibat yang ditimbulkannya luar biasa karena akan memperluas budaya korupsi yang telah ada dalam masyarakat.

Pengakuan tersebut dikemukakan guru-guru dalam pertemuan dengan aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) di Universitas Negeri Jakarta, kemarin.

Manajer Program ICW Ade Irawan mengungkapkan, hasil survei ICW menunjukkan, lebih dari 90 persen responden mengakui masih terjadinya berbagai pungutan di sekolah. Pungutan itu berupa iuran bangunan, uang seragam, pengadaan buku paket, biaya studi tur, ekstrakurikuler, sampai pelajaran tambahan.

"Orangtua pada umumnya menilai guru sebagai aktor korupsi meskipun sebenarnya mereka juga merupakan korban korupsi," kata Ade.

Seorang guru di SMU Negeri 17 mengemukakan, praktik seperti itu tidak bisa disebut korupsi karena pungutan tersebut dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari rapat komite sekolah. Dana dikeluarkan oleh bendaharawan yang ditunjuk. Guru, menurut dia, juga tidak memperoleh keuntungan pribadi dari diskon penjualan buku pelajaran karena pengadaan buku dilakukan melalui koperasi.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Syamsul Rizal dari SMU Negeri 68. Menurut dia, semua anggaran di sekolahnya dilakukan secara transparan karena dewan guru dilibatkan dalam penentuan honorarium tambahan guru dan kepala sekolah. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) bisa diakses siapa saja, meskipun ia mengakui belum ada audit lembaga independen untuk memeriksa dana yang dipergunakan sekolah.

Namun, penjelasan tersebut dibantah oleh Syukur Budiardjo yang mengaku telah 20 tahun mengajar sebagai guru SMP negeri di Jakarta. Menurut dia, korupsi terjadi di sekolah-sekolah. Praktik jual beli nilai banyak dilakukan oleh guru olahraga dengan memberikan nilai 4 atau 5 bagi anak-anak yang tidak membayar uang renang. Sejumlah guru menjual fotokopi ulangan.

Ia mengakui bahwa di sekolah tempat ia mengajar dan sejumlah sekolah lain keuangan memang dilakukan secara transparan. Akan tetapi, menurut dia, untuk mengukur transparansi tidak cukup dengan memperoleh RAPBS, tetapi melihat pertanggungjawaban pelaksanaannya.

Guru dijadikan tameng

Teti Lokolo, seorang guru SMA negeri di Jakarta, mengungkapkan, RAPBS memang biasanya disampaikan secara terbuka. Akan tetapi, setelah jadi APBS biasanya dipegang mati oleh kepala sekolah. Padahal, di situlah akan diketahui ada tidaknya penyimpangan.

Ia menyatakan keberatan apabila guru disebut sebagai koruptor karena guru biasanya hanya menjadi tameng dari pungutan-pungutan yang dilakukan sekolah. Oleh karena itu, menurut Teti, sebaiknya guru-guru membersihkan nama dengan bersikap kritis dan mengamati apa yang terjadi di sekolah.

Seorang eks guru SMP Negeri 56 juga mengakui terjadinya praktik korupsi di sekolah-sekolah. Ulangan umum bersama (UUB), sekalipun telah dilarang oleh Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah, namun tetap dilakukan oleh sanggar-sanggar. Dari seluruh uang pungutan ulangan bersama yang disetorkan, sekitar 25 persennya kembali kepada kepala sekolah.

"UUB selama ini jadi ladang korupsi," ujarnya.

Ia juga menyebutkan praktik korupsi yang dilakukan kepala sekolah dengan meminta penggantian uang transportasi meskipun telah ada jatah uang transportasi bulanan. Seorang pejabat sekolah juga mengambil honorarium mengajar meskipun ia jarang hadir di sekolah.

Sonny Soemarsono dari Forum Guru Independen Indonesia mengungkapkan, sejumlah sekolah kejuruan swasta hanya menerima dana program Broad Base Education (BBE) sebesar Rp 75 juta dari dana yang seharusnya Rp 125 juta. "Itu pun masih harus dibagi dengan yayasan sehingga operasionalnya hanya sekitar Rp 50 juta," kata Soemarsono.

Seorang guru SD negeri di Bekasi mengungkapkan, dana badan koordinasi yang wajib disetorkan tiap bulan oleh sekolah sebesar Rp 600.000 per bulan. Akan tetapi, jumlah itu bisa berubah-ubah tanpa penjelasan. Dana block grant sebesar Rp 10 juta pada praktiknya diterima hanya sekitar Rp 7,5 juta.

"Masalah uang hanya urusan kepala sekolah. Kepala sekolah ibarat raja di sekolah, guru tidak tahu-menahu masalah seperti itu," ujarnya.

Kekuasaan kepala sekolah

Koordinator ICW Teten Masduki mengemukakan, praktik korupsi di sekolah-sekolah terjadi karena kekuasaan kepala sekolah yang luar biasa. Akibatnya, tidak ada check and balance dan tidak ada akuntabilitas. Kepala sekolah membuat rezim sendiri sehingga tidak bisa dikontrol.

Korupsi yang dilakukan guru, menurut Teten, belum bisa disebut praktik kleptomania karena lebih dilatarbelakangi oleh kecilnya gaji. Akan tetapi, bila praktik tersebut dibiarkan berlangsung, maka sekolah tidak bisa lagi menjadi tempat untuk menempa nilai-nilai yang baik, tetapi sekadar menjadi tempat transfer informasi dan teknologi.

"Meski korupsi yang dilakukan kecil, karena gaji tidak cukup, tetapi efeknya luar biasa. Pusat-pusat nilai yang korup akan menghasilkan masyarakat yang sakit. Pendidikan yang korup akan menghasilkan koruptor," kata Teten. (wis)

Tidak ada komentar: