Sabtu, 06 September 2008

Silakan Lihat-lihat

mau sekolah atau gengster


pungutan karena apbn belum 20%


SD dan SMP Negeri Bebas Pungutan

Pungutan biaya pendidikan kepada orangtua murid kembali menjadi perhatian setelah Forum Komunikasi Orangtua Murid Sekolah Dasar Negeri Percontohan Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta, menggugat komite sekolah dan kepala sekolah ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya.
FKOM-SDNP UNJ menyinyalir adanya penggelapan dan duplikasi anggaran pendidikan pada tahun ajaran 2005/2006.
Kaka Tayasmen, salah satu orangtua murid yang mengadukan kasus ini ke polisi, mengatakan, selain menghimpun dana dari orangtua murid Rp 7.500.000 per siswa, komite sekolah dan kepala sekolah telah mengambil dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI. "Sampai saat ini laporan pertanggungjawabannya tidak ada. Makanya kami membawa kasus ini ke pihak berwajib," kata Kaka.
Agustus lalu, FKOM-SDNP UNJ juga memprotes kebijakan komite sekolah yang akan memungut uang pangkal kepada siswa baru Rp 6.200.000 per siswa baru pada tahun ajaran 2007. Jumlah ini belum termasuk iuran bulanan senilai Rp 100.000 per siswa dari kelas I sampai VI.
Protes atas pungutan sekolah juga dilakukan sejumlah orangtua di SD Negeri Koalisi 01 Menteng, Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Kreshna A Mangontan, salah seorang orangtua murid, mengatakan, komite sekolah masih memungut iuran bulanan Rp 200.000 per siswa dari kelas I sampai VI.
Padahal, Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Nomor 001 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Biaya Operasional Pendidikan Sekolah Dasar, SD Luar Biasa, Madrasah Ibtidaiyah, serta Sekolah Menengah Pertama, SMP LB, Madrasah Tsanawiyah Negeri menyatakan komite sekolah dilarang memungut biaya pendidikan kepada orangtua murid.
Mangontan mengatakan, larangan ini membuat komite sekolah melakukan "akal-akalan" dengan meminta sumbangan ke orangtua. Dalihnya, masyarakat peduli pendidikan SDN 01 Menteng. Peraturan itu memang membolehkan komite sekolah menghimpun dana dari masyarakat dan dunia usaha.

Bebas pungutan
Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Sylviana Murni membenarkan, terhitung sejak 1 Juli 2007, pihak sekolah tidak bisa lagi memungut uang dari orangtua murid dengan dalih serta cara apa pun. Hal itu tertuang dalam Juknis Pengelolaan BOP SDN, SDLB, MI, serta SMP, SMP LB, MT Negeri di Jakarta.
"Semua anggaran pendidikan sudah ditanggung pemerintah, baik lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Daerah, bantuan operasional sekolah dan biaya operasional pendidikan," kata Sylviana.
Secara terpisah, Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Maman Ahdiat membenarkan, pihak sekolah melalui komite sekolah bisa menghimpun sumbangan sukarela dan tidak mengikat dari masyarakat dan dunia usaha. Tapi, yang disebut sebagai masyarakat tidak termasuk orangtua murid.
"Kalau orangtua murid ada yang ingin membantu biaya pendidikan, mereka sebagai donatur. Namanya juga donatur, sumbangannya tidak wajib dan sifatnya sukarela, tidak dipaksakan," kata Maman. Jika masih terjadi pungutan atau indikasi penyalahgunaan anggaran , dapat melaporkan secara berjenjang lewat Kepala Sie Dikdas Kecamatan atau langsung ke dinas, dapat melalui Kotak Pos 0808 atau surat elektronik dikdas@dikdasdki.go.id.
BOS dan BOP
Maman mengatakan, setiap SD, SDLB, MI dan SMP, SMPLB, MT negeri wajib membebaskan biaya pendidikan seluruh siswa yang terdaftar di sekolah dan dilarang memungut dana dari orangtua dengan dalih serta cara apa pun.
Pemerintah pusat dan provinsi telah memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional pendidikan (BOP), selain APBN dan APBD. Orangtua dan komite sekolah harus mengetahui, dana BOS dan BOP tidak bisa digunakan membiayai kegiatan yang bersumber dari APBN dan APBD, seperti guru pegawai tidak tetap (PTT) serta tugas pokok dan fungsi guru, antara lain menyusun dan melaksanakan program pengajaran dan layanan, evaluasi dan menganalisis hasil evaluasi, serta perbaikan dan pengayaan.
Dana BOS digunakan antara lain untuk pembiayaan seluruh kegiatan penerimaan siswa baru, seperti biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang. Selain itu, pembelian buku teks pelajaran dan buku penunjang perpustakaan, serta bahan habis pakai, seperti buku tulis, kapur tulis, pensil, dan bahan praktikum.
BOS juga mendanai kegiatan kesiswaan, misalnya pengayaan, ekstrakurikuler seperti olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, dan palang merah remaja. Juga ulangan harian, umum, ujian sekolah, laporan hasil belajar siswa, dan pengembangan profesi guru, seperti pelatihan.
Sementara dana BOP digunakan antara lain untuk perbaikan ringan gedung sekolah, pemeliharaan tempat ibadah, pagar, taman dana lapangan olahraga, termasuk bayar tukang, membayar telepon, air, dan listrik, serta membayar penjaga sekolah nonpegawai negeri sipil.
Aturan Pungutan Sekolah
Komite sekolah dan kepala sekolah tidak bisa seenaknya memungut biaya pendidikan kepada orangtua murid. Pengendalian pungutan sekolah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan, Keputusan Gubernur DKI Nomor 965 Tahun 2007 tentang Biaya Operasional Pendidikan Tahun Anggaran 2007, dan Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Nomor 001 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOP SD, SDLB, MI, SMP, SMPLB, MTs, SMA, dan SMK Negeri dan Swasta Tahun Anggaran 2007.
1. Terhitung tanggal 1 Juli 2007, komite sekolah dan kepala sekolah tidak bisa lagi menghimpun dana dari siswa SD, SDLB, dan MIN serta SMP, SMPLB, dan MTs, termasuk sekolah koalisi, percontohan, serta madrasah model dengan cara apa pun.
2. Pemprov DKI telah memberikan bantuan dana BOP kepada sekolah negeri berdasarkan jumlah siswa terdaftar. Sementara sekolah dan madrasah swasta dialokasikan terutama kepada siswa dari keluarga kurang mampu.
3. Kepala sekolah wajib memublikasi dan menginformasikan BOP kepada guru, orangtua dan wali murid, serta komite sekolah sekurang-kurangnya dalam bentuk surat edaran kepala sekolah dan pengumuman.
4. Komite sekolah dapat menghimpun sumbangan sukarela dan tidak mengikat dari masyarakat dan dunia usaha serta dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan.
5. Sumbangan yang dihimpun komite sekolah menjadi bagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah dan digunakan membiayai kegiatan sekolah yang belum didanai BOP, BOS, dan block grant APBN.
6. Pemerintah mendanai pembangunan sarana dan prasarana, seperti ruang belajar, tempat berolahraga dan ibadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
7. Dana BOP untuk mendukung pelaksanaan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, meningkatkan kinerja tenaga pendidik dan kependidikan, melengkapi kebutuhan sarana pendidikan, memelihara sarana dan prasarana pendidikan, serta meningkatkan pengelolaan administrasi sekolah.
8. Dana BOP tidak bisa digunakan membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat dan daerah, seperti guru pegawai tidak tetap, tugas pokok dan fungsi guru, serta pegawai sesuai dengan ketentuan berlaku.
9. Keperluan pendidikan yang sifatnya dimiliki pribadi siswa menjadi tanggung jawab orangtua siswa. (PIN)—
Kompas, Minggu, 23 September 2007

Mempertanyakan Akuntabilitas Dana Pendidikan

SEANDAINYA aktor-aktor negara konsisten menjalankan konstitusi, keluhan tentang gaji guru yang rendah, masalah anak-anak miskin yang tidak bisa bersekolah, sekolah gratis untuk pendidikan wajib (SD dan SMP) tidak bakal ada masalah lagi. Dengan dalih anggaran terbatas, konstitusi dilanggar. Ketentuan UUD bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilanggar.

PENDIDIKAN ternyata tidak dianggap penting, baik oleh penguasa di pemerintahan pusat, daerah, sampai di tingkat sekolah. Masyarakat dibiarkan menunggu janji alokasi 20 persen anggaran pendidikan mulai direalisasikan pada tahun 2009.

Sejumlah daerah memang mengklaim telah mengalokasikan 20 persen dana APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, ternyata komponen gaji guru dimasukkan di dalamnya. Anggaran di tingkat sekolah sama saja. Di sekolah-sekolah negeri, sebagian besar dana yang dihimpun dari masyarakat juga dipergunakan untuk menambah kesejahteraan guru dan segala tetek bengek yang tidak ada kaitan langsung dengan peningkatan mutu pendidikan.

Berapakah biaya per unit yang wajar untuk pendidikan bermutu standar? Staf pengajar Universitas Muhammadiyah HAMKA Jakarta Abdorrakhman Gintings mengemukakan, sebuah sekolah swasta yang tergolong bermutu di Medan hanya memungut biaya rata-rata Rp 100.000 kepada siswanya.

Bila jumlah siswa di Indonesia total 24 juta anak, dana yang dibutuhkan untuk penyelenggarakan pendidikan bermutu hanya Rp 28,8 triliun. Dengan dana pendidikan di
APBN sebesar Rp 39 triliun, masih ada sisa sekitar Rp 10,2 triliun. "Silakan yang Rp 10 triliun akan digunakan untuk apa. Untuk bohong-bohongan, silakan saja, karena kita sudah bisa punya sekolah bermutu. Namun, uangnya benar-benar diserahkan ke sekolah, jangan lewat dinas," kata Gintings.

Pembiayaan pendidikan selama ini berada di wilayah abu-abu. Ketentuan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan sejak awal sudah salah kaprah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 46 Ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Ketentuan ini kemudian diterjemahkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan sekolah negeri hanya separuh, sisanya diambil dari masyarakat. Tidak peduli apakah sekolah itu pada jenjang pendidikan wajib atau tidak.

Pungutan dari masyarakat menjadi sebuah keharusan yang membuat biaya sekolah negeri menjadi semakin mahal, perilakunya tidak berbeda dengan sekolah swasta sehingga akses orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang baik makin tertutup. Sekolah swasta mulai memperlakukan pendidikan seperti barang dagangan lainnya, seperti sabun, sampo, kulkas, atau televisi. Pendidikan pun mahal, pengeluaran untuk sekolah tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh kelak ketika ia lulus.

PENDIDIKAN menurut ketentuan undang-undang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Akan tetapi, sejauh ini belum ada perubahan berarti di lapangan. Cara pembagian anggaran dan pengelolaannya masih seperti dulu.

Otonomi daerah justru sering dituding sebagai kambing hitam pendidikan yang makin terpuruk pascareformasi. Jabatan kepala dinas pendidikan diisi oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi bidang pendidikan. Pejabat yang seumur-umur mengurusi pasar atau kuburan diangkat untuk menjadi kepala dinas pendidikan. Anggaran yang dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru dipergunakan untuk yang lain. Dana block grant yang diserahkan ke sekolah "dikoordinasikan" oleh dinas, yang ujung-ujungnya tidak tepat sasaran. Di sejumlah daerah, dana operasional untuk sekolah menurun atau sama sekali
menghilang.

Hanya satu-dua daerah yang pandai menangkap peluang otonomi untuk memajukan rakyat di daerahnya, seperti Kabupaten Bantul (DI Yogyakarta) dan Jembrana (Bali). Lainnya, otonomi seolah tidak mengubah apa-apa. Struktur anggaran dan cara kerja birokrasi pendidikan nyaris seperti zaman yang telah berlalu. Malik Fadjar saat menjabat sebagai Mendiknas pernah mengeluarkan keputusan tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan yang harus dilakukan daerah, namun aturan ini cenderung mengedepankan ukuran-ukuran kuantitatif dan belum menjadi komitmen di lapangan.

Departemen Pendidikan Nasional baru-baru ini membuat riset tentang pembiayaan pendidikan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Meski APBD Kabupaten Musi Banyu Asin pada 2004 lebih tinggi dari APBD Kabupaten Sumedang, ternyata anggaran pendidikan Kabupaten Musi Banyuasin (termasuk gaji guru) lebih rendah daripada Sumedang. Dari total APBD sebesar Rp 518,4 miliar, Musi Banyu Asin mengalokasikan Rp 102,8 miliar untuk pendidikan. Sementara APBD Sumedang Rp 428,8 miliar, sebesar Rp 209 miliar dianggarkan untuk pendidikan.

Ketika komponen gaji guru dikeluarkan, anggaran pendidikan di kedua kabupaten itu masih sangat kecil. Di Kabupaten Sumedang 92 persen belanja pendidikan untuk gaji guru. Di luar gaji guru, anggaran yang tersisa untuk pendidikan hanya Rp 45,4 miliar. Sementara di Kabupaten Musi Banyuasin hanya Rp 30,1 miliar. Itu pun sebagian besar dialokasikan untuk birokrasi sehingga dana yang turun sampai ke sekolah sangat tidak memadai.

Diskriminasi anggaran pun tampak jelas ketika kedua kabupaten memberikan kontribusi anggaran pemerintahan daerah yang sangat kecil pada madrasah, bahkan tidak memberikan kontribusi sama sekali untuk sekolah swasta.

Berapa dana yang rata-rata diterima sekolah dan siswa? Sangat kecil. Dana yang diberikan untuk SD tiap bulan di Musi Banyuasin hanya sekitar Rp 346.667 juta, sedangkan di Kabupaten Sumedang sebesar Rp 722.629 juta. Dana yang dialokasikan untuk setiap siswa sekolah negeri di Sumedang hanya Rp 3.788 juta (SD), Rp 6.117 juta (SMP), Rp 6.382 juta (SMA), dan Rp 11.091 juta (SMK). Sementara di Musi Banyuasin dana per siswa yang diberikan pemerintahan daerah hanya sebesar Rp 2.029 juta untuk siswa SD. Di Jenjang yang lebih atas agak lumayan Rp 14.835 juta untuk SMP, Rp 20.494 juta untuk SMA, dan Rp 28.412 juta untuk SMK.

Ada beberapa alternatif yang disarankan untuk memperbesar porsi anggaran belanja non-gaji, seperti reorganisasi dinas pendidikan dengan merampingkan jumlah pegawai dengan meningkatkan kinerjanya dan memperbesar rasio antara guru dan peserta didik. Di Kabupaten Sumedang, pegawai dinas pendidikan dinilai terlalu banyak dan hanya sebagian saja yang benar-benar memberikan kontribusi nyata terhadap organisasi tempat ia bekerja.


TIDAK jauh berbeda dengan anggaran pendidikan di pemerintahan, anggaran pendidikan di sekolah pun sebagian besar terserap untuk tambahan kesejahteraan guru, kegiatan administrasi, dan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mutu. Sejumlah contoh Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dan realisasinya bisa dilihat dalam studi sumber-sumber keuangan pendidikan di luar anggaran
pemerintah yang pernah dilakukan Departemen Pendidikan Nasional.

SD Negeri Kertajaya XII Surabaya, pada tahun 2003-2004 memperoleh pendapatan dari sumbangan murid sebesar Rp 147 juta dari sejumlah 91 siswa dan dari donatur sebesar Rp 6.300.000. Dari dana tersebut, Rp 144 juta dipergunakan untuk honor dan insentif guru, Rp 2,4 juta untuk tunjangan kesejahteraan, dan Rp 600.000 untuk keperluan transportasi. Di SD Negeri Ungaran I Semarang sumbangan yang ditarik dari masyarakat pada tahun 2003 mencapai Rp 100.950.000. Dari dana tersebut, Rp 43.760.000 dipergunakan untuk tambahan kesejahteraan guru.

Di SMP Negeri 6 Yogyakarta, pada tahun ajaran 2003-2004 dana yang dihimpun dari komite sekolah sebesar Rp 353.700.000, sejumlah Rp 129.380.00 dialokasikan untuk honor dan kesejahteraan guru. Sebagian besar dana lainnya terserap untuk pengecatan gedung, pengadaan teralis, pemeliharaan gedung dan halaman sekolah, listrik, dan lain-lain. Anggaran dari komite yang dialokasikan untuk peningkatan mutu pendidikan adalah pembelian komputer, printer, dan pemeliharaan komputer dan laboratorium bahasa.

Sumber ganda pembiayaan sekolah negeri, dari dana pemerintah dan dana masyarakat, merupakan penyebab keruwetan selama ini. Sekolah negeri yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pada praktiknya justru berkompetisi dengan sekolah swasta dalam menggalang dana dari masyarakat. Komite sekolah bukannya menjadi pembela masyarakat, tetapi justru menjadi alat kepala sekolah untuk mempermainkan biaya pendidikan. Sebuah SMA negeri di Bandung memungut uang masuk pertama Rp 6 juta. Jumlah itu bahkan lebih besar daripada biaya masuk perguruan tinggi swasta.

Akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan dari pusat, daerah sampai ke level sekolah menjadi pertanyaan. Anggaran yang dikeluarkan negara untuk pendidikan terus meningkat, biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat makin mahal, tetapi mutu pendidikan begitu-begitu saja, bahkan terus merosot. (P Bambang Wisudo)

Kompas, Selasa, 03 Mei 2005

Transparansi Dana Sekolah, Mengapa Susah?

Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pada publik, sekolah perlu didorong untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah yang selanjutnya disingkat RAPBS adalah rencana terpadu penerimaan dan penggunaan serta pengelolaan dana selama satu tahun pelajaran.

Tujuan pedoman penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah adalah acuan bagi pengelola pendidikan, komite sekolah, dan orangtua/wali siswa dalam penyusunan RAPBS untuk memenuhi seluruh pembiayaan kebutuhan dan/atau kegiatan sekolah yang selanjutnya dibahas melalui mekanisme demokrasi, transparan dan akuntabel untuk ditetapkan menjadi anggaran APBS.

Sasaran pedoman penyusunan RAPBS adalah tersedianya informasi penerimaan dan penggunaan keuangan sekolah yang berasal dari berbagai sumber dana sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan pendidikan yang mengakibatkan penggunaan keuangan sekolah.

RAPBS ini disusun tahunan dan bersifat terbuka. Hal itu untuk mengikis korupsi dan mendidik sekolah menjadi organisasi modern. Salah satu ciri organisasi modern adalah memiliki perencanaan anggaran.

Sejumlah sekolah memiliki RAPBS, tapi belum ada yang benar- benar disiplin dan transparan. Dengan adanya RAPBS, sekolah harus mengestimasi dari mana saja akan mendapatkan uang, seperti iuran, sumbangan perorangan, badan usaha swasta, atau subsidi negara. Sekolah juga mengestimasi uang itu akan dikeluarkan untuk apa saja. Dari sini, audit menjadi ada dasarnya.
Cara penyusunan RAPBS pun harus jelas. RAPBS disusun dan diputuskan paling tidak oleh kepala sekolah dan orangtua siswa dan tidak bisa ditentukan satu-dua orang.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah yang selanjutnya disingkat APBS adalah keuangan tahunan sekolah sebagai pedoman pembiayaan penyelenggaraan sekolah yang ditetapkan melalui rapat pleno orangtua/wali siswa, komite sekolah, dan dewan guru serta disahkan pejabat yang ditetapkan.

RAPBS dibahas dalam rapat pleno seluruh orangtua/wali siswa, pengurus komite sekolah, guru, tata usaha sekolah dan unsur lain yang relevan, secara musyawarah dengan prinsip demokratis, transparan, dan akuntabel. Selanjutnya RAPBS ditetapkan menjadi APBS oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah.

Diduga gagasan ini akan banyak ditentang sekolah karena ini justru akan mempersempit ruang gerak "bermain" sekolah. "Pihak sekolah akan cenderung menghindari ini karena di situlah dana tilepan bermain.

Dalih, meski di bibir mengiyakan, namun dalam hati tampak berat sekali. Sehingga dalihnya adalah, semua pihak dalam komunitas sekolah bisa tidak menerima itu. Sekolah sebagai lembaga pendidikan belum banyak dilihat dari perspektif pendanaan. Jadi, perlu sosialisasi.

Padahal, pengelolaan keuangan di tubuh sekolah saat ini masih centang-perenang. Contoh, untuk mendapatkan dana, kepala sekolah mengadakan pungutan-pungutan yang tak memiliki dasar. Bahkan, umumnya guru pun ditarget untuk mencari dana dan setor ke kepala sekolah. Masing-masing guru akhirnya ada juga yang mengantongi uang pungutan. Ini yang membuat sekolah rusak.

Dengan adanya dorongan sekolah untuk menyusun RAPBS, maka pengelolaan keuangan sekolah akan menjadi relatif bersih. Sehingga kasus penyelewengan dana BOS yang belakangan marak terungkap di berbaga media pun, niscaya mengalir ke kantong individu-individu sekolah.
Memang, saatnya, sekolah memiliki perencanaan anggaran sebagai landasan hukum terkait penerimaan dan pengeluaran sekolah.

mekanisme penyaluran dana BOS

Tidak ada komentar: