Sabtu, 06 September 2008

Uang Mengucur, Transparansi Kendur


Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Suyanto, mengatakan, pemerintah akan terus mengucurkan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Pada tahun 2008, program BOS mencapai Rp 11,2 triliun. Jumlah tersebut, katanya, sudah termasuk BOS yang dikucurkan melalui Departemen Agama.
"Pemerintah akan terus melanjutkan program BOS, sebab program ini mampu membebaskan siswa yang tidak mampu dan dapat meringankan siswa lainnya. Karena itu, mereka diharapkan memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu," ujar Suyanto.
Ironisnya, di tengah kucuran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang terus digelontorkan, beban biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua murid malah semakin bertambah. Hal ini misalnya tampak dari hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada lima daerah yakni DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Garut, Kota Padang, dan Kota Banjarmasin pada tahun 2007.
Manajer Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, selama tahun 2007 orangtua murid sekolah dasar harus mengeluarkan biaya pendidikan anak rata-rata sebesar Rp4,7 juta. Dana itu untuk biaya tidak langsung seperti membeli buku, alat tulis, dan les privat yang mencapai RP 3,2 juta.
Sedangkan biaya pungutan sekolah seperti pembayaran lembar kerja siswa (LKS), buku paket, uang infak, penerimaan siswa baru dan uang bangunan sekolah mencapai Rp 1,5 juta. Pengeluaran terbesar, katanya adalah untuk pungutan kursus di sekolah sebesar Rp 311.000. Kemudian, diikuti pungutan buku ajar, bangunan serta LKS dan buku paket masing-masing Rp 145.000, Rp 140.000 dan Rp 123.000.
"Padahal anggaran dana BOS buku mencapai Rp 900 miliar. Itu berarti setiap siswa mendapatkan Rp 254 ribu per tahun. Tapi kenyataannya biaya yang dikeluarkan orangtua untuk sekolah terus meningkat," ujarnya.
Bahkan, kata Ade, beberapa pungutan yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena telah menerima dana BOS, masih saja terjadi, seperti uang ujian, uang ekstra kurikuler, uang kebersihan, uang daftar ulang, dan uang perpisahan sekolah.


Tidak Transparan



Penyebab utama pungutan "liar" tersebut kata Ade adalah karena tidak adanya transparansi pengelolaan uang yang dipungut dari orangtua siswa. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan uang sekolah yang telah dipungut.
Dari penelitiannya, Ade bahkan sampai pada kesimpulan bahwa tindakan korupsi yang terjadi dalam setiap pungutan tersebut, terjadi pada semua tingkatan, dan berlangsung secara sistemik. Mulai dari Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan, hingga sekolah-sekolah.
Aktivis Aliansi Orangtua Peduli Tranparansi Dana Pendidikan (Auditan) Teguh Imawan mengatakan, selain karena mental manajemen sekolah yang korup, pungutan itu terjadi karena adanya tekanan struktural yang diterima sekolah. Agar bisa diangkat menjadi kepala sekolah, seseorang misalnya, harus memberikan uang sogokan. Selain itu, para penilik yang melakukan pengawasan sering meminta jatah kepada sekolah.
Ironisnya, transparansi anggaran dan pungutan di sekolah, kata Teguh, hampir tidak ada. Selain karena tidak adanya kemauan politik manajemen sekolah, juga karena adanya sikap tidak peduli para orang tua murid untuk menekan sekolah agar lebih transparan serta menolak berbagai pungutan.
"Oleh karena itu, butuh political will manajemen sekolah dan kepedulian orang tua. Peduli dalam arti menuntut pengelolaan dana transparan dan menolak permintaan sumbangan," ujar Teguh.
Salah satu bentuk manajemen pengelolaan yang transparan itu, kata Teguh adalah dengan membuka Anggaran Penerimaan Belanja Sekolah (APBS) kepada para orang tua murid. Namun, sayang, APBS selama ini sering tidak diketahui orang tua. Bahkan, sekolah membuat anggarannya sendiri tanpa melibatkan orang tua.
Berdasarkan ketentuan, berbagai pungutan dalam berbagai bentuk, cara dan dalil apa pun sudah tidak boleh dilakukan. Namun, kata Teguh, sekolah masih saja diam-diam melakukan pemungutan atas beragai cara, bentuk dan alasan.
"Hari gini, sudah tidak ada pungutan dalam bentuk dan cara apa pun. Karena itu, pemerintah harus memberi sanksi tegas kepada sekolah yang masih melakukan pungutan," ujarnya.
Komite Sekolah, katanya, memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan terhadap berbagai kebijakan dan pungutan yang dilakukan sekolah. Namun, ironisnya, Komite Sekolah malah melakukan persekongkolan dengan sekolah. "Sekitar 95 persen Komite Sekolah malah melakukan kongkalikong dengan sekolah," ujarnya.
Dengan dana bantuan berupa bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP) yang dialokasikan pemerintah, sekolah seharusnya sudah sangat berkecukupan untuk menyelenggarakan pendidikan, tanpa memungut biaya dari orang tua siswa.
"Dengan dana bantuan yang mencapai 170 ribu rupiah tiap anak, semua biaya sebenarnya sudah ter-cover. Karena itu, di Jakarta wajar kalau sudah ada sekolah SD dan SMP yang gratis," ujarnya.

Tidak ada komentar: